SELAMAT DATANG!!!

Senin, 25 November 2013

Bunyi dalam Sajak#

TUGAS : Bunyi dalam Sajak



OLEH:

                                                         LIDAWATI    
                                                      (A1D1 11083)



PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………..1
A.    Latar Belakang ………………………………………………………1
B.    Rumusan Masalah …………………………………………………..3
C.    Tujuan ……………………………………………………………….3
D.    Manfaat ………….…………………………………………………..3
BAB II. KAJIAN TEORI……………………………………………………….4
A.    Pengertian Puisi……………………………………………………...4
B.    Bunyi dalam Sajak…………………………………………………...6
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………………..12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….13
BAB V. PENUTUP………………………………………………………………20
A.    Kesimpulan……………………………………………………………20
B.    Saran ………………………………………………………………….21
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….22



KATA PENGANTARA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan karya tulis dengan judul “Bunyi dalam Sajak” ini dapat berjalan dengan baik dan dapat selesai tepat waktu dengan segala kesederhanaannya.
Penulisan karya tulis ini dimaksudkan agar kita semua khususnya pembaca dapat mengetahui apa saja yang terdap dalam “Bunyi dalam Sajak”, sehingga kita dapat/bisa menentukan unsur-unsur bunyi dalam sajak apa saja yang terdapat dalam sebuah puisi.
Dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Samsuddin, S.Pd., M.Hum. selaku Dosen Matakuliah Kajian Puisi yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun karya tulis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, sebab disadari bahwa penulisan karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
                                                                  
                                                                  Kendari,      Maret 2012
                                             
                                                                             Penulis



BAB I
PENDAHULUAN                                                           
1.1 Latar Belakang
            Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalh bunyi. Bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika sebuah sajak dibacakan maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
              Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
            Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu susunan dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.


               Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan menimbulakan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan ,mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga berperan membentuk suasana yang mempertajam makana. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
             Bunyi erat hubungannya dengan undur musikualitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
              Bunyi musik inlah yang diharapkan dapatmenimbulkan dan membangkitkan imajinasi, memberikan sugesti, serta menciptakan kepuitisan dan keindahan. Sajak berikut memanfaatkan unsur bunyi tertentu. Pemanfaatan bunyi konsonan pada akhir setiap baris sajak berikut ini menyarankan ‘sesuatu’ dan terasa begitu sugestif.

1.2    Rumusan Masalah
        Bertolak dari latar belakang diatas, maka dapat di tarik suatu masalah dalam karya ilmiah ini dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Jelaskan  pengertian dari puisi?
2.    Jelaskan  bagian-bagian dari bunyi dalam sajak seperti irama, kakafoni dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anaphora dan epifora.
   
1.3    Tujuan
        Adapun yang menjadi tujuan dalam karya ilmiah ini yaitu agar kita dapat mengetahui dan memahami bagaimana bunyi dalam sajak yang terbagi atas Irama, Kakafoni dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anaphora dan epifora, serta agar kita dapat mampu menganalisis suatu puisi.
          
1.4    Manfaat
Adapun manfaat dar hasil karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.    Kita dapat memahami pengertian dari puisi.
2.    Kita dapat memahami  pengertian dari bagaian-bagian bunyi dalam sajak yang berupa irama, kakafono dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anapora dan epifora, serta mengetahui pengertian dari setiap bagianbagian bunyi dalam sajak tersebut.
3.    Sebagai bahan reverensi bagi pembaca.







BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian puisi
Kita sering kali menjumpai kesulitan untuk merumuskan pengertian puisi karena begitu banyaknya ragam puisi. Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya sehingga sampai sekarang belum terdapat definisi yang tepat apakah puisi itu. Tetapi, untuk memahami puisi kita harus mengetahui batasan-batasan tentang puisi sebagai pangkal tolak pembahasan.
Wirdjosoedarmo dalam Pradopo (2002:5) mendefinisikan puisi sebagai karangan yang terikat oleh : (1) banyaknya baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) rima; dan (5) irama. Definisi yang diungkap oleh Wirdjosoedarmo hanya cocok untuk puisi lama dan sudah tidak cocok lagi dengan puisi jaman sekarang.
John Dreyden menghubungkan puisi dengan musik. Poetry is articulate music (puisi adalah musik yang tersusun rapi). Poetry not to speak but to sing. Jadi bukan berbicara tapi berdendang (kepada peminatnya). Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan penuh daya; dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelek manusia. Senada dengan itu, Bradley mengatakan puisi adalah semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita. Rapl Waldo Emerson mengatakan bahwa ”puisi merupakan upaya untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar, mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkan ada”. (Djojosuroto, 2005:10).
Hudson dalam Aminuddin (1987 : 134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Pendapat-pendapat lain dari para sastrawan dunia tentang puisi adalah sebagai berikut:
(1)  Samuel Taylor Coleridge : puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara unsur yang satu dengan unsur yang lain sangat erat hubungannya.
(2)  Carlyle: puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal.  Penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya. Kata-kata disusun begitu rupa sehingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan menggunakan orkestrasi bunyi.
(3)  Dunton: puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkrit dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya dengan kiasan citra-citra, dan disusun artistik (selaras, simetris, pemilihan katanya tepat, dan sebagainya), bahasanya penuh perasaan, dan berirama seperti musik (pergantian bunyi iramanya berturut-turut secara teratur).
(4)  Shelley mengemukakan  bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya itu merupakan detik- detik yang paling indah untuk direkam.
(5)  Shanon Ahmad mengemukakan  bila unsur-unsur dari pendapat itu dipadukan, maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. unsur-unsur tersebut berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada , irama, kesan panca indera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Di situ dapat disimpulkan ada tiga unsur pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi; kedua, bentuknya; dan yang ketiga adalah kesannya. Semua itu itu terungkap dengan media bahasa. (Pradopo, 2002:6-7)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberikan kesan puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
2.2 Bunyi dalam sajak
Bahasa dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi, bunyi dirangkai dengan menggunakan pola tertentu. Sajak yang dibacakan maka pertama-tama yang ditangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi, bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.


            Bunyi di dalam sajak meliputi hal-hal sebagai berikut:
Irama, Metrum, Kakafoni, Efoni, Onomatope, Asonansi, Aliterasi, Anafora. Dari penguraian di atas akan diuraikan satu persatu.
1.     Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan musik, masalahnya irama erat hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik denga bunyi itu sendiri. Irama bukan sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang di sebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Dengan demikian metrum hampir di katakan tidak ada di dalam sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau aturan tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat dipahami karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih menonjol, secara sadar atau tidak adlah ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan mempertentangkan bunyi, perulangan serta membuat pola tertentu dengan memilih kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang dihadapi.
2.      Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan persaan jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra), pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3.      Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, ”gemercik air pencuran”, ”desau angin”, ”derap langkah kuda” adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4.      Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/ pada awal kata setiap barisnya.
Efek yang ditimbulkan oleh aliterasi berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh asonansi (persamaan bunyi vokal). Secara umum, efek asonansi lebih halus dari aliterasi. Akan tetapi, sulit dibedakan antara efek yang ditimbulkan asonansi dan aliterasi pada kata-kata yang digunakan pencipta (ada kata yang merdu dan tidak merdu). Dengan kata lain hal itu ditentukan oleh jenis konsonan dan vokal yang membentuk kata. Menurut Slamet Muljana (Badrun, 2003:30-31), penyair dan sajaknya banyak menggunakan bunyi yang berkaitan dengan lambang rasa, lambang rasa berhubungan dengan suasana hati. Vokal e dan i terasa ringan, tinggi dan kecil dapat melukiskan suasana hati yang ringan dan riang. Bunyi k, p, t, s, f lebih ringan daripada konsonan b, d, g, z, v, w yang berat. Bunyi Vokal a, o, dan u terasa berat dan rendah. Bunyi-bunyi yang berat cocok untuk melukiskan perasaan sedih, gundah, dan murung (Badrun, 2003:30-31).
Menurut Luxemburg dkk (1984:196) aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari hubungan semantik biasa. Selain itu aliterasi menekankan struktur ritmik sebuah larik dan memberi tekanan tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan. Sedangkan asonansi sering dipergunakan dalam simbolik bunyi.
5.      Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu melancar, bulan memancar.
6.      Anafora dan Epifora
     Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak. Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak



















            BAB III
     METODE PENELITIA
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, kualitatif. Deskriptif adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan secara obyektif sesuai data yang terdapat dalam puisi karya.
             Kualitatif di pakai untuk menganalisis atau menguraikankonsep-konsep dalam hubungannya dengan yang lain dan tanpa menggunakan prinsip-prinsip statistik tetapi berpedoman pada teori-teori sastra yang ada kaitannya dengan kritik sastra feminis.
















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepi
 (Sajak buat Nelson Mandela
   di penjara Afrika Selatan)
Dari mana kau datang
Dari tepi kau bilang
Di mana kau berdiri
           Di tepi
Di mana kau berpihak
            Di tepi
Di mana kau terlibat
            Di tepi
Di mana kau mulai
           Di tepi
Di mana kau bergerak
           Di tepi
Di mana kau berbaring
           Di tepi
Di mana kau bermimpi
           Di tepi
Di mana kau kini
            Di tepi
Tepi apa itu tepi
Tepi afrika tepi selatan
Tepi itu tepi kau
Tepi pekerja tambang
Yang tak punya selembar saham
Tepi petani
    Yang dilarang berladang di benua sendiri
Tepi nelayan
    Yang tak boleh menyentuh lautan
Tepi penjaga malam
    Yang tak sempat menikmati matahari
Tepi pemegang karcis kereta api
    Yang harus puas dengan gerbong tersendiri
Tepi orang-orang berkulit hitam
    Yang tidak diperkenankan
    Satu gereja dengan sesame Nasrani
        Berkulit putih
Tepi itu tepi kau, Mandela
Tepi manusia
    Yang berhak merdeka
Tepi penghabisan
Sejarah penindasan
Afrika Selatan
                             ( 1989 )
* Secara keseluruhan rangkaian bunyi dalam sajak yang dimanfaatkan oleh puisi    diatas di sebut kakafoni.
    Sajak di atas menggambarkan suatau keadaan dimana begitu banyak orang-orang yang tersisihkan serta orang-orang yang di tindas. Mulai dari para pekerja tambang yang tidak memilimki saham, para petani yang dilarang berladang di benua sendiri, para nelayan yang tak boleh menyentuh lautan, hingga orang-orang yang berkulithitam yang tidak diperkenankan satu gereja dengan sesama nasrani yang berkulit putih walupun orang-orang yang tertindas itu juga berhak untuk merdeka sehingga dalam sajak di atas menggambarkan suasana yang mengharukan
*Sajak di atas menunjukkan penggunaan aliterasi yang dimanfaatkan sedemikian mungkin , sehingga muncul unsur irama dan musikalitas yang tinggi. Aliterasi pada sajak di atas berupa persamaan serta pengulangan bunyi / D / T / pada awal kata setiap baris.
    Selain cara pemanfaatan bunyi asonansi sajak di atas juga menggunakan unsur bunyi yang sama pada awal larik atau yang biasa disebut anafora. Dikatakan seperti itu karena puisi yang berjudul “ Tepi ”  tersebut pada setiap barisnya menggunakan kata yang sama seperti dari, dimana, di tepi, tepi, dan yang.
Namaku Toraja
Di uratku deras mengalir sungai Sa’dang
Tulang igaku tanduk-tanduk kerbau belang
Nafasku angin pegunungan angin lembut di rumput ilalang
Langit bapaku bumi ibuku
Toraja namaku
Benihku tumbuh di batu tumbuh di tanah
Benihku padi di ladang padi di sawah
Benihku julang di gunung tabah di lembah
Benihku pohon-pohon kopi belukar damar hutan-hutan cemara
Namaku toraja
Benihku tak hangus di api tak benam di air
Benihku tak luka dibadik tak koyak ditombak
Benihku tak tebas dipedang tak tembus dipanah
Benihku langit kakeknya bumi neneknya
Namaku toraja
    Sajak di atas menggambarkan ketabahan dan ketegaran seseorang. Dimana pun dia berada dan dalam keadaan apapun, dia tetap tegar dan kuat, sehingga dapat disimpulkan bahwa, rangkaian bunyi yang dimanfaatkan pengarang (Husni Djamaluddin) dengan judul puisi “ Namaku Toraja “  adalah efoni
    Sajak diatas juga memanfaatkan penggunaan aliterasi karena terdapat pengulangan bunyi / b / pada awal kata pada hampir keseluruhan barisnya.
    Selain itu, puisi di atas juga menggunakan teknik anafora, karena terdapat unsur bunyi yang berulang-ulang pada awal larik sajak puisi tersebut yaitu “benihku”
Hikayat Bulan dan Khairan
Di langit malam: Bulan
Memancarkan cintanya kepada Khairan
Khairan tidak perduli
Di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi
Lewat celah jendela
Bulan mengintip Khairan
Khairan tidak perduli
Di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi

Di langit bulan gelisah
Khairan tidak perduli
Di langit bulan sepi
Khairan tidak perduli
Di langit bulan rindu
Khairan tidak perduli

Maka bulan turun ke bumi
Khairan tidak perduli
Bulan melangkah mendekat
Kahairan tidak perduli
Bulan memanjat dinding
Khairan tidak perduli
Bulan mengetuk jendela
Khairan tetap saja
Menulis puisi
Pelan-pelan bulan menguak jendela
Khairan tidak perduli
Bulan nekad memasuki kamarnya
Khairan tidak perduli
Bulan menggamit bahunya
Khairan tidak perduli
Bulan mengelus lehernya
Khairan tidak perduli
Bulan membelai pipinya
Khairan tidak perduli
Bulan mencium dahinya
Khairan tidak perduli
Bulan mengecup bibirnya
Khairan tidak bisa lagi tidak perduli
Bulan rebah di pangkuannya
Khairan tidak lagi menulis puisi
Bulan memegang tangannya
Khairan membiarkan
Bulan menuntunnya ke ranjang
Khairan tidak keberatan
Bulan buka kutang
Khairan mulai gemetaran
Bulan buka paha
Khairan segera jadi singa
Syahdan
Ketika bulan dan Khairan
Tuntas di puncak malam
Sebuah puisi tiba
Di ujung baitnya
Bulan pun kembali ke langit malam
Memancarkan cintanya
Ke mana-mana
                                     ( 1976 )
Rangkaian  bunyi yang dimanfaatkan oleh Husni Djamaluddin dalam puisinya yang berjudul “ Bulan dan Khairan “ di atas adalah efoni karena sajak diatas menggambarkan perasaan mesra antara Bulan dan Khairan. Walaupun  pada awalnya Khairan tidak memperdulikan Bulan yang senantiasa memperhatikannya, karena Khairan hanya fokus pada aktivitasnya. Tetapai, karena Bulan tidak menyerah dan tetap mendekatinya, akhirnya dia dapat diluluhkan.
Sajak diatas juga memperlihatkan rangkaian bunyi yang diolah dengan mempermainkan bunyi vokal sebagai bunyi akhir, sehingga bunyi-bunyi di rangkai dari bunyi vokal tersebut menimbulkan kesan suasana cerah
Puisi diatas juga memanfaatkan bunyi dengan cara pengulangan pemakaian bunyi beruppa pengulangan bunyi yang sama baik pengulangan bunyi konsonan yang disebut aliterasi, serta pengulangan bunyi yang sama berupa bunyi vokal atau asonansi. Yang  merupakan bunyi aliterasi pada puisi diatas yaitu / d / b / k /. Sedangkan penggunaan bunyi vokal yang sama yaitu / a / i /.
Selain itu, puisi “ Bulan dan Khairan “ juga memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa anafora dan epifora. Dikatakan menggunakan anafora karena dalam puisi diatas terdapat unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata pada awal di langit, Bulan, dan Khairan. Serta dikatakan memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa epifora karena terdapat bunyi berulang-ulang dalam bentuk kata pada larik sajak yaitu perduli, dan puisi.
Topejawa
Ombak yang menghempas
Di pantai Topejawa

Ombak yang datang
Dari lautku
Yang paling dalam

Angin sepoi yang membelai
Ikal rambutmu

Angin purba yang bertiup
Dari benua rinduku

Di Topejawa
Kaulah yang pantai itu
Akulah yang ombak itu
Yang tak pernah berhenti
Membisikkan
Kedalaman lautku
                                               ( 1994 )

Dalam puisi karya husni djamaluddin yang berjudul “TopeJawa” di atas memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa efoni karewna bunyi-bunyi yang dirangkai berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara.
Sajak tersebut menggambarkan seseorang yang sabar dan pantang menyerah walau diterpa masalah apapun yang diumpamakan sebagai pantai dan masalah yang dihadapinya itu sebagai ombak.
Puisi diatas juga memanfaatkan asonansi karena terdapat pengulangan bunyi vokal pada awal kata dan akhir kata pada hampir semua baris puisi yaitu pengulangan bunyi vokal / o / a /u/.
Selain pemanfaatan unsur bunyi dalam sajak berupa asonansi, sajak tersebut juga memanfaatkan anafora dan epifora. Yang termasuk anafora dalam puisi diatas yaitu ombak dan angin. Sedangkan yang merupakan epifora yaitu lautku, rambutmu, rinduku, dan itu. Semua ini dikatakan epifora karena menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk linguistik pada akhir setiap sajak.




BAB V
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Berdasarkan materi yang sudah di uraikan di atas dapat kami simpulkan bahwa bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
 Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi.Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman.Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak
            Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
5.2  Saran
Berdasarkan pada kesimpuan dan uraian-uraian di atas maka ada beberapa hal yang menjadi saran dalam penelitian ini yakni:
1.    Diharapkan agar kita dapat menganalisis bunyi dalam sajak dalas suatu sajak dengan baik dengan memperhatikan unsur-unsur dalam bunyi dalam sajak tersebut.
2.    Diharapkan agar kita dapat memahami pengertian dari masing-masing unsur bunyi dalam sajak yang meliputi irama, kakafoni dan efoni, anomatope aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
3.    Dapat menentukan unsur-unsur bunyi dalam sajak apa saja yang terdapat dalas suatu puisi.                                                                        
















DAFTAR PUSTAKA
Yuwana, Setya. 2000. Pendekatan Statistik dalam Puisi Jawa Modern .Jakarta: Departemen Pebdidikan Nasional.
Junus, Umar. 1981. Dasar-Dasar Intepretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.
Esten, Mursal. 1987. Sepuluh Petunjuk Dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang: Angkasa Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar