SELAMAT DATANG!!!

Senin, 25 November 2013

PROSES MORFEMIS

Tugas:



MORFOOGI BAHASA INDONESIA






OLEH:
LINDAWATI
A1D1 11 083


PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012


PROSES MORFEMIS

A.    AFIKSASI

Afiks selalu berupa morfem terikat, dan dapat ditambahkan pada awal kata dalam proses yang disebut prefikasi, dalam akhir kata bisa disebut sufiksasi, untuk sebagian pada awal kata serta sebagian untuk sebagian pada akhir kata (konfiks, ambifiks, atau simulfiks) dalam proses yang disebut konfiksasi,ambifiksasi, atau simulfiksasi, atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu sisipan (infiks) dalam proses yag disebut infiksasi.
Contoh jenis afiks:
prefiks  : belajar, pengurus, terdapat, kedua
Sufiks   : akhiran, wartawan, bukumu
Konfiks : melakukan, menduduki, meperlihatkan, kelihatan, berdasarkan
Infiks    : gerigi, gemetar, telunjuk

B. REDUPLIKASI
Ada beberapa pendapat tentang definisi reduplikasi yang penulis peroleh. Salah satunya adalah JWM. Verhaar yang mengatakan bahwa reduplikasi merupakan proses morfemis yang membentuk pengulangan dari sebuah atau sebagian bentuk dasar. Pendapar Verhaar ini diperkuat lagi dengan pendapat M.Ramlan yang mengatakan reduplikasi sebagai satuan gramatik baik seluruh maupun sebagian baik dengan variasi fonem maupun tidak. Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa reduplikasi harus memiliki unsur
1. Terjadinya perulangan dari suatu bentu dasar.
2. pengulangan bentuk dasar bias terjadi secara penuh ataupun parsial.
3. pengulangan bias terjadi dengan variasi fonem ataupun tidak.

a. Jenis Reuplikasi
Ada beberapa jenis reduplikasi yang dikem,ukakan oleh ahli-ahli linguistic. Verhaar membagi reduplikasi menjadi dua yaitu reduplikasi keseluruhan dan reduplikasi parsial. Reduplikasi keseluruhan adalah reduplikasi yang proses pengulangannya terjadi secara menyeluruh dari suatu bentuk dasar. Sebagai contoh leksem makan menjadi makan-makan, rumah menjadi rumah-rumah. Sedangkan reduplikasi parsial adalah reduplikasi yang pengulangaanya hanya sebagaian dari suatu bentuk dasar. Sebagian tersebut bias di awal maupun diakhir bentuk dasar yang mengalami reduplikasi. Sebagai contoh adalah leksem luhur menjadi luluhur kemudian mengalami penyederhanaan menjadi leluhur.
Lain Halnya dengan Harimurti Kridalaksana. Harimurti membagi reduplikasi menjadi dua kelompok yaitu dari sudut pandang kajian yang meliputi reduplikasi fonologis, morfologis, dan sintaksis. Di samping iti harimurti juga mengelompokkan reduplikasi sesuai dengan bentuknya yaitu reduplikasi dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, dwiwasana, dan trilingga.
        Reduplikasi fonologis adalah reduplikasi yang pengulangannya terjadi pada tataran fonologis atau bunyi. Reduplikasi jenis ini tidak mengalami pengulangan leksem sehingga tidak menimbulkan mkna baru. Reduplikasi morfemis adalah reduplikasi pada ta6taran morfologi yang mengakibatkan pengulangan suatu leksem. Pemngulangan ini mengakibatkan timbulnya sebuah makna baru. Reduplikasi sintaksis adalah proses yang terjadi atas leksem yang menghasilkan satuan yang berstatus klausa. Reduplikasi jenis ini sudah dihubnfngkan dengan penggunaannya dalam klausa.
Reduplikasi dwipurwa adalah pengulangan suku kata pertama oada sebuah leksem dengan pelemahan vocal. Contoh:
Tangga → tatangga → tetangga
Tamu → tatamu → tetamu
Sama → sasama → sesame
Reduplikasi dwilingga yaitu terjadinya pengulangan leksem secara utuh. Contoh
Rumah → rumah-rumah
Makan → makan-makan
Pagi → pagi-pagi
Reduplikasi dwilingga salin swara adalah reduplikasi dengan pengulangan leksem deang variasi fonem. Contoh:
Coret → corat-coret
Balik → bolak-balik
Senyum → senyam-senyum
Reduplikasi dwiwasana adalah pengulangan bagian belakang dari leksem yang diulang. Contoh:
Pertama → pertama-tama
Sekali → sekali-kali
Perlahan → perlajan-lahan
Reduplikasi Trilingga yaitu reduplikasi tiga bentuk. Redupolikasi jenis ini pada umumnya pengulangan anomatope atau peniruan bunyi dengan variasi fonem. Contoh
Dor → dar-der-dor
Ramlan membagi reduplikasi memjadi empat yaitu pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan berimbuhan, dan pengulangan dengan perubahan fonem.pengulangan seluruh versi Ramlan ini sama dengan reduplikasi dwilingga yang dikemukakan oleh Harimurti. Pengulangan sebagian berhubungan dengan dwipurwa dan dwiwasana versi harimurti atau pengulangan parsial versi Verhaar.
        Dari beberapa pendapat di atas dapat kami sarikan tentang jenis kata ulang atau reduplikasi yaitu:
1. Reduplikasi utuh atau seluruh yaitu redupliasi yang proses pengulangannya terjadi pada                keseluruhan bentuk dasar atau leksem yang diulang.
2. reduplikasi sebagian yaitu reduplikasi yang pengulangannya terjadi hanya sebagian dari bentuk dasar atau leksem yang diulang. Sebagian dari bentuk dasar tersebut bias pengulangan hanya pada bagoian depan ataupun bagian belakang.
3. Reduplikasi berubah bunyi yaitu reduplikasi yang pengulangannya mengakibatkan variasi fonem.
4. Reduplikasi berafiks atau berimbuhan yaitu reduplikasi yang mendapatkan imbuhan   baik berupa prefiks, infiks, sufiks, ataupun konfiks.Makna Reduplikasi
Makna reduplikasi merupakan makna tambahan yang dihasilkan dari adanya proses morfologis yang membentuk sebuah pengualangan dari sebuah bentuk dasar. Dari beberapa data yang ada, penulis ingin menampilkan beberapa makna dari kata ulang. Makna-makna tersebut adalah:
1. Pekerjaan yang dilakukan sungguh-sungguh (intensif) Contoh: Jangan diangkat-angkat lagi barang itu.
2. Pekerjaan yang dilakukan sambil lalu. Contoh: Adik suka tidur-tiduran di lantai
3. pekerjaan yang dilakukan berkali-kali. Contoh: Mereka tertawa-tawa saat mendengarkan cerita lucu.
4. berbalasan (resiprokal). Contoh: Kedua orang itu cubit-cubitan.
5. yang memiliki sifat yang dikemukakan bentuk dasarnya lebih dari satu. Contoh:
Anak-anak pak Romli cantik-cantik.
6. ketidakpastian Contoh: Kami tidak boleh mengerjakan soal itu secara untung-untungan.
7. jamak atau banyak. Contoh: Pohon-pohon di sepanjang Jlan Sudirman akan ditebang.
8. bermacam-macam. Contoh: Saat hari raya semua orang berpakaian warna-warni yang meriah.
9. variasi hal. Contoh: Jari-jemari Novi amat lentik.
10. segala macam Contoh: dukun itu meminta sesajian dari kembang tujuh rupa.
11. segala macam yang di- Contoh: Banyak tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hutan tropis.
12. yang dianggap. Contoh: leluhur bangsa Indonesia adalah orang pemberani
13. ketdaktentuan Contoh: Coba kamu tanyakan soal itu kepada siapa-siapa saja yang kamu inginkan.
14. yang bertindak sebagai Contoh:
Meskipun sudah bapak-bapak, gaya pak Amir masih seperti anak muda.
15. menyerupai / mirip Contoh: langit-langit rumah kami sedang diperbaiki.
16. melakukan sesuatu mirip dengan sifat Contoh: andi dan temannya sedang bermain kucing-kucingan di samping rumah.
17. kumpulan berbagai jenis Contoh: Susi lebih suka dengan makanan yang berasal dari umbu-umbian.
18. keheranan Contoh: Apa-apan sih, kok kamu aneh begitu?
19. beberapa Contoh: Berpuluh-puluh mahasiswa berkumpul di depan kantor rector.
2.3. Ciri -Ciri Bentuk Reduplikasi
        Ada beberap ciri bentuk Reduplikasi dalam bahasa Indonesia. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Reduplikasi tidak mengubah golongan kata bentuk dasar yang diulang. Dengan kata    lain kelas bentuk dasar kata ulang tersebut masih sama dengan setelah terjadi pengulangan. Sebuah nomina apabila diulang maka akan menjadi nomina pula.
Contoh:
Rumah : Rumah-rumah
Berkata: Berkata-kata
Cepat :cepat-cepat
Keempat: keempat-empat
Merah: kemerah-merahan
2. Bentuk dasar kata ulang berupa satuan satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Sebagai contoh adalah kalimat Irma memukul-mukulkan tongkat itu ke bangku.
Reduplikasi memuku-mukulkan memiliki kesempatan bentuk dasarnya berupa *memukul, *mukulkan, dan memukulkan. Kata memukul merupakan bentuk tak terterima seperti halnya mukulkan. Jadi jelas, kata ulang memukul-mukulkan berasal dari kata dasar memukulkan karena bentuk memukulkanlah yang terterima.
Contoh lain adalah  mengata-ngatakan berasal dari mengatakan bukan *mengata atau *ngatakan. Berdesak-desakan berasal dari berdesakan bukan *berdesak atau *desakan.
3. Proses bentuk reduplikasi berafiks mungkin
a. Proses reduplikasi dan afiksasi terjadi bersamaan.
Contoh -ton ber + R berton ton Pada kasus ini ber- dan reduplikasi ton-ton terjadi secara bersamaan karena bentuk *ton ton tidak terterima dalam bahasa Indonesia.
b. proses afiksasi terjadi lebih dahulu baru proses reduplikasi.
Contoh: lari berlari berlari-lari mingat mengingat mengingat-ingat
c. Proses reduplikasi terjadi lebih dahulu baru proses afiksasi.
Contoh: mobil Mobil-mobil mobil-mobilan , robot robot-robot robot-robotan
Di sini tampak jelas bahwa mobil dan robot mengalami proses reduplikasi terlebih dahulu. Dalam bahasa Indonesia *robotan dan *mobilan tidak terterima.
4. sifat reduplikasi bias bersifat paradigmatic dan juga bias derivasional.
5. Reduplikasi dapat berupa semantic yaitu reduplikasi yang tersusun dari dua kata yang maknanya bersinonim yang membentuk satu kesatuan. Misalnya:
Hancur-luluh
Terang-benderang
Gelap-gulita


C.KOMPOSITUM / KOMPOSISI
Kata majemuk atau kompositum adalah  gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang  mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI).
Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat di sisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan.Kata majemuk juga memiliki ciri gabungan kata yang bisa membentuk makna baru.
Contoh: rumah makan.
Makna kata secara leksikal adalah “rumah (yang/sedang) makan”, tetapi makna ini tentu tidak logis, jadi secara gramatika makna yang terbentuk berbeda dari makna leksikal pembentuknya.
a.Jenis-jenis kompositum :
Beberapa jenis kompositum menurut Harimurti :
1. Kompositum subordinatif substantif (tipe A)
   2. Kompositum subordinatif atributif (tipe B)
   3.  Kompositum koordinatif (tipe C)
   4.  Kompositum berproleksem (tipe D)
   5.  Kompositum sintetis (tipe E)
Contoh untuk tipe-tipe di atas antara lain sebagai berikut:
    a) Tipe A: anak air, bibir cawan, buah hati, kepala keluarga, mata panah, perut bumi,   suku kata, dan tangan baju.
    b) Tipe B: banyak akal, banyak bicara, bebas tugas, berat hati, gelap hati, hilang akal, campur tangan, buruk hati, datang bulan, mati rasa, naik gaji, kurang darah, lepas tangan, panjang umur, ringan tangan, patah tulang, senang hati, tipis harapan, tunarungu, dan tebal muka.
   (c) Tipe C: adat istiadat, aman sejahtera, panjang lebar, besar kecil, ayah ibu, basah kuyup, anak cucu, dan ambil alih. Di sini disebutkan contoh ayah ibuyang berpola ‘a pria, b wanita’. Jika dibandingkan dengan bapak ibu, sebenarnya contoh ini tidak berbeda, namun konteks kalimatlah yang membedakan kedua kata ini sebagai kompositum dan frase.
   (d) Tipe D: asusila, bilingualisme, metafisika, makro-ekonomi, dan semifinal.
    (e) Tipe E: geofisika, sentimeter, dan psikologi.

    kompositum subordinatif menjadi bagian yang lebih khusus, yaitu:
a) Subordinatif bebas:
Idiom  kutu buku dan kambing hitam
Non-idiom  basah kuyup dan peran serta
b) Subordinatif terikat:
Idiom  banting tulang dan darah dingin
Non-idiom  limpah ruah dan salah guna
c) Kompositum yang mengandung pengulangan  satu padu, hina dina, kaya raya, dan adat istiadat.
    kompositum koordinatif, Harimurti membaginya menjadi:
a) Koordinatif bebas:
Idiom  tanah air dan darah daging
Non-idiom  sunyi senyap dan cantik jelita
b)Koordinatif terikat:
Idiom  tidak ada contoh
Non-idiom  sebar luas, kembang biak, lipat ganda
c) kompositum berproleksem  amoral, antar-bangsa, hipotaksis, dan paranormal.
b. Kata majemuk yang lazim ditulis terpisah:
Benar    Salah
   
air mata    airmata
beri tahu    beritahu
kereta api    keretaapi
kerja sama    kerjasama
mata pelajaran    matapelajaran
meja tulis    mejatulis
model linear    modellinear
orang tua    orangtua
persegi panjang    persegipanjang
rumah sakit    rumahsakit
simpang empat    simpangempat
tanggung jawab    tanggungjawab
terima kasih    terimakasih


c. Kata majemuk yang ditulis terangkai
Benar    Salah
acapkali    acap kali
adakalanya    ada kalanya
kacamata    kaca mata
apalagi    apa lagi
barangkali    barang kali
beasiswa    bea siswa
belasungkawa    bela sungkawa
bilamana    bila mana
bumiputra    bumi putra
daripada    dari pada
kasatmata    kasat mata
manakala    mana kala
peribahasa    peri bahasa
radioaktif    radio aktif
segitiga    segi tiga
sekalipun    sekali pun
sukacita    suka cita
sukarela    suka rela
waralaba    wara laba

d.Ciri-ciri yang membedakan kata majemuk dari frase:
1.  Ketaktersisipan, yaitu komponen-komponen kompositum tersebut tidak dapat disisipi apa pun. Harimurti member contoh kata alat negara. Kata ini masih bisa disisipi partikel dari sehingga menjadi alat dari negara. Jadi, kate ini bukan kata majemuk, melainkan frase.
2.Ketakterluasan, yaitu komponen-komponen kompositu tersebut tidak dapat diafiksasi dan dimodifikasi. Jika terjadi perluasan, itu pun hanya mungkin untuk semua komponen sekaligus. Contoh yang diberikan adalah kereta api yang dapat dimodifikasi menjadi perkeretaapian.
3.Ketakterbalikan, yaitu komponen-komponen tersebut tidak dapat dipertukarkan. Menurutnya, bapak ibu, pulang pergi, dan lebih kurang bukanlah komposisi melainkan frase koordinatif karena dapat dibalikkan. Arif bijaksana, hutan belantara, dan bujuk rayu barulah disebut kompositum karena tidak dapat dibalikkan.
Jadi, menurut Harimurti, jika tidak memenuhi ciri-ciri di atas, bentuk tersebut bukan kompositum, melainkan frase.

MORFOLOGI BAHASA INDONESIA#

Tugas:




MORFOLOGI BAHASA INDONESIA





OLEH :
LINDAWATI
A1D1 11 O83



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012







A.    VERBA

 Kata dikatakan berkategori verba jika dalam frasa dapat didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan tidak dapat didampingi partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak.
Contoh: dandan, celaka, masak, jalan,mandi, minum,dan lari.
    Diuji secara morfologi misalnya :
1.Afiks ber- pada kata dandan:
             ber- + dandan => berdandan (KK)
2. Afiks ke-an pada kata celaka:
 ke- +rindu + -an => kecelakaan (KK)
3.Afiks me(N)- pada kata masak:
me- + masak => memasak (KK)
4. Afiks me(N)-I pada kata jalan:
me(N)- + jalan + -i => menjalani (KK)
5. Afiks –kan pada kata mandi :
Mandi + -kan => mandikan (KK)
6. Afiks me- pada kata minum :
Me- + minum => meminum (KK)
7. Afiks ber- padakata lari :
Ber- + lari => berlari (KK)
    Diuji secara sintaksis misalnya didampingi dengan kata tidak :
1.    Tidak dandan
2.    Tidak celaka
3.    Tidak masak
4.    Tidak jalan
5.    Tidak mandi
6.    Tidak minum

B.  NOMINA
 Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak dan mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari.

Contohnya:
    Diuji secara morfologi misalnya :
1.    Afiks –an pada kata sayur:
Sayur + -an => sayuran (KB)
2.    Afiks –an pada kata laut :
Laut + -an => lautan (KB)
3.    Afiks pe(N)-an padaa kata harga :
Pe(N)- + harga + -an => penghargaan (KB)
4.    Afiks pe(N)-an pada kata kantor  :
di-  + kandang => dikandang (KB)
5.    Afiks –an pada kata darat :
darat + -an => daratan (KB)
6.    Afiks ke-an pada kata uang  :
ke- + uang + -an => keuangan  (KB)
7.    Afiks -an pada kata bantal :
bantal  + -an => bantalan (KB)
    Diuji secara sintaksis misalnya  diawali dengan kata dari dan tidak dapat bergabung dengan partikel tidak  :
1.    Dari  sayur / tidak sayur
2.    Dari laut / tidak laut
3.    Dari harga / tidak harga
4.    Dari kantor / tidak kantor
5.    Dari darat / tidak darat
6.    Dari uang / tidak uang
7.    Dari bantal / tidak bantal


C.  ADJEKTIVA
Ajektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk bergabung dengan partikel tidak, mendampingi nomina, atau didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), dan –i (dalam alami), dan dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an seperti keyakinan.
Contohnya : hormat, senang, jengkel, marah, malas, lebih, dan mungkin.
    Diuji secara morfologi msalnya :
1.    Afiks ter- pada kata hormat:
      Ter- + hormat => terhormat (KS)
2.    Afiks me(N)-kan pada kata senang :
Me(N)- + senang + -kan => menyenangkan (KS)
3.    Afiks me(N)- kan pada kata jengkel :
Me(N)- + jengkel + -kan => menjengkelkan (KS)
4.    Afis pe(N)- pada kata marah :
Pe(N)- + marah => pemarah (KS)
5.    Afiks pe(N)- pada kata malas :
Pe(N)- + malas => pemalas (KS)
6.    Afiks me(N)-i pada kata lebih :
Me(N)- + lebih + -i => melebihi (KS)
7.    Afiks me(N)-kan pada kata mungkin :
Men(N)- + mungkin + -kan => memungkinkan (KS)
    Diuji secara sintaksis misalnya didampingi dengan partikel agak :
1.    Agak hormat
2.    Agak senang
3.    Agak  jengkel
4.    Agak marah
5.    Agak malas
6.    Agak lebih
7.    Agak mungkin

D.    Adverbia
Adverbia (kata keterangan).adalah kata yang menerangkan  predikat  suatu kalimat. Dengan tugas  itu,  adverbia akan   mengisi keterangan dalam  kalimat. Menurut  Alwi  (1998 : 366) , keterangan  di   dalam   kalimat  ada   beberapa  macam. Semua keterangan    itu  diisi   oleh   beraneka  bentuk  adverbia seperti tampak dalam contoh di bawah ini :
1.    Keterangan tempat, merupakan keterangan yang menjelaskan tempat berlangsungnya peristiwa.
Di Surabaya
Ke Kendari
Dari jakarta
2.    Keterangan waktu, merupakan keterangan yang menjelaskan saat berlangsungnya suatu peristiwa.
sekarang
Besok
Kemarin
Lusa
Tadi
Beberapa  hari lagi
Pada masa lalu
Sejak tahun 1945
Tahun
Bulan
3.    Keterangan tujuan, merupakan keterangan yang menyatakan tujuan suatu peristiwa berlangsung.
Agar
Supaya
Guna
Untuk
Buat
Demi
4.    Keterangan yang  menyatakan cara. 
Segera
Sekuat-kuatnya
Lama-lama
Baik- baik
Kecil-kecilan
Dengan terang-terangan
Dengan perhatian penuh
5.    Keterangan aspek, merupakan keterangan yang menjelaskan berlangsungnya peristiwa secara objektif.
Sedang
Akan
Telah
Belum
6.    Keterangan kuatitatif, merupakan keterangan yang menjelaskan tingkat keseringan suatu peristiwa.
Sering
Kadang-kadang
Kira-kira
Cukup
Hampir
Sedikit
7.    Keterangan yang menyatakan penyertaan.
Dengan karyawan
Bersama   rakyat
Tanpa guru.
8.    Keterangan yang menyatakan  alat :
Dengan   kereta api
Dengan sepeda
Dengan kapak merah

9.    Keterangan yang  menyatakan   kemiripan:
Laksana putri
Bagaikan karang  
Seperti petinju
Layaknya pujangga
10.    Keterangan yang   menyatakan    penyebaban:
Karena  inflasi
Karena  krisis keuangan
Karena cinta
11.    Keterangan yang menyatakan kesalingan:
Satu sama lain.

E.    Konjungsi
Konjungsi adalah kata  tugas  yang   menghubungkan dua kata  atau dua kalimat. Karena   peranannya    sebagai    kata penghubung,  kata sambung, (konjungsi) disebut juga dengan istilah konjungtor. Di bawah ini contoh konjungtor  intra kalimat.
Contoh :
antara hidup dan mati.
Anda pasti berhasil kalau rajin belajar .
oleh Presiden atau Wakil Presiden RI.
Pengetahuannya terbatas karena kurang membaca.
Bukan Mega tetapi Yanti.
Rapat sudah dimulai ketika Ramadhan tiba.
Kami terhalang demonstran sehingga pertemuan tertunda
Bersikaplah biasa agar mereka tidak curiga.
Pak   Susilo  mengidap    radang hati, sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Korem
Situasi memang sudah membaik, tetapi kita harus selalu siaga.
kamu mengikuti saran Ibu.

Di bawah ini beberapa konjungsi antar kalimat yang berfungsi menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya dalam sebuah paragraf.
Meskipun   demikian
Walaupun begitu
Selanjutnya
Oleh karena itu
Oleh sebab itu



F.    Preposisi
      preposisi dalah kata tugas yang selalu berada di depan kata benda,  kata    sifat, atau kata kerja   untuk    membentuk gabungan kata depan (frasa preposional).
Contoh:
di   kantor
 di kota,
dengan    membunuh
oleh  Kurniawan
tentang  peristiwa   itu
pada hari ahad
bagi   almamater tercinta
sejak  kecil
Kata  yang dicetak miring  dalam contoh    diatas    adalah     preposisi. Adanya  preposisi dengan  di depan  kata  kerja memburuh,sejak di depan kata sifat kecil, dan sejumlah    preposisi lain di    depan  kata  benda,   menjadikan seluruh   contoh   di atas  adalah  frasa   preposional. Gabungan    kata      yang membentuk  frasa   preposional  itu  menghasilkan  makna  baru yang berbeda dengan makna kata asalnya sebelum membentuk frasa.





BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKUIAH WAJIB DI PERGURUAN TINGGI#

Tugas: Menulis Lanjut



BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKUIAH WAJIB DI PERGURUAN TINGGI




OLEH :
LINDAWATI
A1D1 11 083


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012



Kata Pengantar
Dengan penuh keramahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Karena limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penuis dapat menyelesaikan makalah ini sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, itu semua sebagai akibat dari masih minimnya pengalaman menulis dan keterbatasan literatur yang ada, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada Ibu Dra. Hj. Erni Harijati, M.Hum selaku dosen mata kuliah Menulis Lanjut yang telah membimbing kami dengan sabar.

                                                 Kendari,      Desember 2012


                                 Penyusun                                     














                                                       
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL    i   
KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii

BAB I PENDAHULUAN    1
1.1    Latar Belakang    1
1.2 Tujuan dan Manfaat    3

BAB II PEMBAHASAN    4
2.1    Pengertian Bahasa     4
2.2    Sejarah Bahasa Indonesia    5

BAB III PENUTUP    7
A.    Kesimpuan    7
B.    Saran    7
DAFTAR PUSTAKA    8


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
  Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional Negara Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia sudah diajarkan sejak tingkat SD, SMP, dan SMA. Oleh karena itu sebaiknya setelah jenjang SMA bahasa Indonesia sudah dikuasai atau setidaknya mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Bahasa Indonesia. Namun faktanya, masih sedikit mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia secara maksimal.
Alasan inilah yang membuat Dirjen depdiknas RI memutuskan memasukan Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliah yang wajib diajarkan di seluruh perguruan tinggi dan seluruh jurusan. Tujuannya untuk mengasah kemampuan berbahasa dan mengembangkan kepribadian para mahasiswa. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita selaku Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menguasai dan menerapkan bahasa Indonesia dalam kehidupan seharihari dengan baik dan benar, sehingga bahasa Indonesia dapat terjaga keasliannya.
Bahasa Indonesia dan Kepribadian Bangsa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sudah terbentuk dalam kurun waktu kurang lebih satu abad. Dalam perjalanan sejarah itu, seluruh akal budi, pengalaman batin manusia Indonesia terdokumentasikan dalam bahasa Indonesia. Di antara bahasa yang terdokumentasikan itu ialah nilai-nilai luhur yang khas hanya dimiliki orang Indonesia. Misalnya: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dari ungkapan itu dapat diketahui bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam bahasa Indonesia menjunjung nilai-nilai persatuan, kebersamaan, dan kesetaraan. Nilai-nilai luhur yang khas milik bangsa Indonesia itulah kepribadian Indonesia. Sebagaimana keadaan bahasa Indonesia, kepribadian itu pun senantiasa bergerak secara dinamis. Meski demikian, dinamika itu hendaknya diarahkan jangan sampai mengikis jati diri bangsa.
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi disamping dimaksudkan untuk memupuk rasa memiliki, mencintai, dan bangga menggunakannya, juga agar para mahasiswa sampai dengan setelah menjadi sarjana memiliki tanggung jawab untuk terus membina Bahasa Indonesia dan mengembangkan kemampuan dirinya dalam menggunakan Bahasa Indonesia. Alasan lain pentingnya Bahasa Indonesia dipelajari di Perguruan Tinggi, karena di Perguruan Tinggi kita akan sering membuat karya ilmiah, misalnya saja laporan praktikum, skripsi, tesis dan karya tulis lainnya. Dalam pembuatan karya ilmiah seorang penulis akan dihadapkan pada masalah-masalah yang renik. Misalnya masalah ketepatan ejaan : asas bukan azas, kualitas bukan kwalitas, jadwal bukan jadual, atau ketepatan tanda baca: Rumah itu kecil, tetapi indah; Meskipun di pinggiran kota, lokasinya bebas banjir, bukan Rumah itu kecil tapi indah; Meskipun di pinggiran kota, namun lokasinya bebas banjir.

 Sebagaimana telah diketahui, karya ilmiah berhubungan terutama dengan bahasa tulis, dan merupakan hasil olah pikir yang memerlukan kecerdasan dan kecermatan. Kecerdasan dan kecermatan berpikir itu hendaknya juga tercermin dalam pemakaian bahasanya. Dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia, sikap dan perilaku cerdas, cermat, teliti diharapkan tertanam dalam diri para mahasiswa. Perilaku cerdas, cermat dan teliti merupakan salah satu cerminan pribadi manusia profesional yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi dewasa ini.






1.2 Tujuan dan Manfaat

Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca, khususnya para mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo agar nantinya dapat menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan serta menggunakan dapat menggunakan Bahasa Indonesia yag baik dan Benar.
Manfaat mempelajari Bahasa Indonesia secara umum:
1. Menumbuhkan sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia;
2. Menjadi bahasa pemersatu dari berbagai bahasa dari tiap daerah di Indonesia;
3. Kebanggaan terhadap bangsa Indonesia;
4. Kesetiaan akan bahasa Indonesia;
5. Meningkatkan kesadaran akan adanya norma dalam berbahasa dan secara khusus bertujuan untuk terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Bahasa
    Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Sifat bahasa: (a) sistemis yaitu terdiri atas pola-pola yang beraturan dan saling berkaitan; (b) arbitrer yaitubentuk dan makna bersifat manasuka sesuai dengan masyarakat pemakainya; (c) konvensional yaitu bentuk dan makna ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat pemakai; (d) dinamis yaitu bentuk dan makna berkembang/berubah sesuai perkembangan.
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
    Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia;
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia;
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
    Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam/Keragaman Bahasa:
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb;
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa Benyamin S, dan lain sebagainya;
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya;
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan;
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan;
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.
2.2.Sejarah Bahasa Indonesia
Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialekbahasa Melayu. Telah berabad-abad bahasa Melayu dipakai sebagai alat perhubungan antarpenduduk Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Pada masa penjajahan Belanda , bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan yang luas. Bahkan komunikasi antara pemerintah Belanda dan penduduk Indonesia yang memiliki berbagai macam bahasa juga menggunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1928 saat dilangsungkannya Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober, bahasa Melayu diubah namanya menjadi bahasa Indonesia dan diikrarkan sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional dalam sumpah pemuda. Pada masa penjajahan Jepang, pemerintah Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda. Pelarangan ini mempunyai dampak yang positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Saat itu pemakaian bahasa Indonesia semakin meluas. Bahasa Indonesia dipakai dalam berbagai aspek kehidupan termasuk kehidupan politik dan pemerintahan yang sebelumnya lebih banyak menggunakan bahasa Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Pernyataan dalam pasal tersebut mengandung konsekuensi bahwa selain menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa Negara sehingga dipakai dalam semua urusan yang berkaitan dengan pemerintahan dan negara. Pada masa kemerdekaan, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang amat pesat.
Setiap tahun jumlah pemakai bahasa Indonesia semakin bertambah. Perhatian pemerintah Indonesia terhadap perkembangan bahasa Indonesia juga sangat besar. Hal ini terbukti dengan dibentuknya sebuah lembaga yang mengurus masalah kebahasaan yang saat ini dikenal dengan nama Pusat Bahasa. Berbagai upaya mengembangkan bahasa Indonesia telah ditempuh oleh Pusat Bahasa seperti adanya perubahan ejaan bahasa Indonesia dari ejaan Van Ophuijsen, ejaan Suwandi, hingga sekarang berlakuEjaan yang Disempurnakan (EYD).
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Matakuliah bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari diperguruan tinggi, dikarenakan bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu, karena di universitas setiap mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian, matakuliah bahasa Indonesia sebagai panduan untuk penyusunan dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, dll), selain itu mempelajari bahasa Indonesia bagi mahasiswa di universitas sama halnya seperti mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA, namun pembahasan di universitas lebih spesifik dan mendalam, dan sebagian besar mahasiswa masih tetap ingin mempelajari bahasa Indonesia dikarenakan agar mereka mampu bertata bahasa dengan baik dan benar, bahasa Indonesia pun penting untuk dilestarikan oleh penutur aslinya.
3.2 saran
Diharapkan makalah ini dapat mengingatkan pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya bahwa bahasa Indonesia perlu dipelajari, karena dengan cara ini juga kita secara tidak langsung telah melestarikan bahasa kita. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia ini kalau bukan kita sebagai warga Indonesia itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

http://sankyuu.blogdetik.com/index.php/2012/01/15/makalah-pentingnya-mkdu-bahasa-indonesia-di-perguruan-tinggi
 http://triedogawa12.blogspot,com/2012/10/pentingkah-belajar-bahasa-indonesia-dipelajari.html




Bunyi dalam Sajak#

TUGAS : Bunyi dalam Sajak



OLEH:

                                                         LIDAWATI    
                                                      (A1D1 11083)



PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………..1
A.    Latar Belakang ………………………………………………………1
B.    Rumusan Masalah …………………………………………………..3
C.    Tujuan ……………………………………………………………….3
D.    Manfaat ………….…………………………………………………..3
BAB II. KAJIAN TEORI……………………………………………………….4
A.    Pengertian Puisi……………………………………………………...4
B.    Bunyi dalam Sajak…………………………………………………...6
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………………..12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….13
BAB V. PENUTUP………………………………………………………………20
A.    Kesimpulan……………………………………………………………20
B.    Saran ………………………………………………………………….21
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….22



KATA PENGANTARA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan karya tulis dengan judul “Bunyi dalam Sajak” ini dapat berjalan dengan baik dan dapat selesai tepat waktu dengan segala kesederhanaannya.
Penulisan karya tulis ini dimaksudkan agar kita semua khususnya pembaca dapat mengetahui apa saja yang terdap dalam “Bunyi dalam Sajak”, sehingga kita dapat/bisa menentukan unsur-unsur bunyi dalam sajak apa saja yang terdapat dalam sebuah puisi.
Dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Samsuddin, S.Pd., M.Hum. selaku Dosen Matakuliah Kajian Puisi yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun karya tulis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, sebab disadari bahwa penulisan karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
                                                                  
                                                                  Kendari,      Maret 2012
                                             
                                                                             Penulis



BAB I
PENDAHULUAN                                                           
1.1 Latar Belakang
            Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalh bunyi. Bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika sebuah sajak dibacakan maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
              Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
            Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu susunan dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.


               Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan menimbulakan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan ,mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga berperan membentuk suasana yang mempertajam makana. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
             Bunyi erat hubungannya dengan undur musikualitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
              Bunyi musik inlah yang diharapkan dapatmenimbulkan dan membangkitkan imajinasi, memberikan sugesti, serta menciptakan kepuitisan dan keindahan. Sajak berikut memanfaatkan unsur bunyi tertentu. Pemanfaatan bunyi konsonan pada akhir setiap baris sajak berikut ini menyarankan ‘sesuatu’ dan terasa begitu sugestif.

1.2    Rumusan Masalah
        Bertolak dari latar belakang diatas, maka dapat di tarik suatu masalah dalam karya ilmiah ini dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Jelaskan  pengertian dari puisi?
2.    Jelaskan  bagian-bagian dari bunyi dalam sajak seperti irama, kakafoni dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anaphora dan epifora.
   
1.3    Tujuan
        Adapun yang menjadi tujuan dalam karya ilmiah ini yaitu agar kita dapat mengetahui dan memahami bagaimana bunyi dalam sajak yang terbagi atas Irama, Kakafoni dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anaphora dan epifora, serta agar kita dapat mampu menganalisis suatu puisi.
          
1.4    Manfaat
Adapun manfaat dar hasil karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.    Kita dapat memahami pengertian dari puisi.
2.    Kita dapat memahami  pengertian dari bagaian-bagian bunyi dalam sajak yang berupa irama, kakafono dan efoni, Anomatope, Aliterasi, Asonansnsi, Anapora dan epifora, serta mengetahui pengertian dari setiap bagianbagian bunyi dalam sajak tersebut.
3.    Sebagai bahan reverensi bagi pembaca.







BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian puisi
Kita sering kali menjumpai kesulitan untuk merumuskan pengertian puisi karena begitu banyaknya ragam puisi. Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya sehingga sampai sekarang belum terdapat definisi yang tepat apakah puisi itu. Tetapi, untuk memahami puisi kita harus mengetahui batasan-batasan tentang puisi sebagai pangkal tolak pembahasan.
Wirdjosoedarmo dalam Pradopo (2002:5) mendefinisikan puisi sebagai karangan yang terikat oleh : (1) banyaknya baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) rima; dan (5) irama. Definisi yang diungkap oleh Wirdjosoedarmo hanya cocok untuk puisi lama dan sudah tidak cocok lagi dengan puisi jaman sekarang.
John Dreyden menghubungkan puisi dengan musik. Poetry is articulate music (puisi adalah musik yang tersusun rapi). Poetry not to speak but to sing. Jadi bukan berbicara tapi berdendang (kepada peminatnya). Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan penuh daya; dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelek manusia. Senada dengan itu, Bradley mengatakan puisi adalah semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita. Rapl Waldo Emerson mengatakan bahwa ”puisi merupakan upaya untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar, mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkan ada”. (Djojosuroto, 2005:10).
Hudson dalam Aminuddin (1987 : 134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Pendapat-pendapat lain dari para sastrawan dunia tentang puisi adalah sebagai berikut:
(1)  Samuel Taylor Coleridge : puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara unsur yang satu dengan unsur yang lain sangat erat hubungannya.
(2)  Carlyle: puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal.  Penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya. Kata-kata disusun begitu rupa sehingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan menggunakan orkestrasi bunyi.
(3)  Dunton: puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkrit dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya dengan kiasan citra-citra, dan disusun artistik (selaras, simetris, pemilihan katanya tepat, dan sebagainya), bahasanya penuh perasaan, dan berirama seperti musik (pergantian bunyi iramanya berturut-turut secara teratur).
(4)  Shelley mengemukakan  bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya itu merupakan detik- detik yang paling indah untuk direkam.
(5)  Shanon Ahmad mengemukakan  bila unsur-unsur dari pendapat itu dipadukan, maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. unsur-unsur tersebut berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada , irama, kesan panca indera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Di situ dapat disimpulkan ada tiga unsur pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi; kedua, bentuknya; dan yang ketiga adalah kesannya. Semua itu itu terungkap dengan media bahasa. (Pradopo, 2002:6-7)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberikan kesan puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
2.2 Bunyi dalam sajak
Bahasa dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi, bunyi dirangkai dengan menggunakan pola tertentu. Sajak yang dibacakan maka pertama-tama yang ditangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi, bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.


            Bunyi di dalam sajak meliputi hal-hal sebagai berikut:
Irama, Metrum, Kakafoni, Efoni, Onomatope, Asonansi, Aliterasi, Anafora. Dari penguraian di atas akan diuraikan satu persatu.
1.     Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan musik, masalahnya irama erat hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik denga bunyi itu sendiri. Irama bukan sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang di sebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Dengan demikian metrum hampir di katakan tidak ada di dalam sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau aturan tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat dipahami karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih menonjol, secara sadar atau tidak adlah ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan mempertentangkan bunyi, perulangan serta membuat pola tertentu dengan memilih kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang dihadapi.
2.      Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan persaan jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra), pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3.      Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, ”gemercik air pencuran”, ”desau angin”, ”derap langkah kuda” adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4.      Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/ pada awal kata setiap barisnya.
Efek yang ditimbulkan oleh aliterasi berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh asonansi (persamaan bunyi vokal). Secara umum, efek asonansi lebih halus dari aliterasi. Akan tetapi, sulit dibedakan antara efek yang ditimbulkan asonansi dan aliterasi pada kata-kata yang digunakan pencipta (ada kata yang merdu dan tidak merdu). Dengan kata lain hal itu ditentukan oleh jenis konsonan dan vokal yang membentuk kata. Menurut Slamet Muljana (Badrun, 2003:30-31), penyair dan sajaknya banyak menggunakan bunyi yang berkaitan dengan lambang rasa, lambang rasa berhubungan dengan suasana hati. Vokal e dan i terasa ringan, tinggi dan kecil dapat melukiskan suasana hati yang ringan dan riang. Bunyi k, p, t, s, f lebih ringan daripada konsonan b, d, g, z, v, w yang berat. Bunyi Vokal a, o, dan u terasa berat dan rendah. Bunyi-bunyi yang berat cocok untuk melukiskan perasaan sedih, gundah, dan murung (Badrun, 2003:30-31).
Menurut Luxemburg dkk (1984:196) aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari hubungan semantik biasa. Selain itu aliterasi menekankan struktur ritmik sebuah larik dan memberi tekanan tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan. Sedangkan asonansi sering dipergunakan dalam simbolik bunyi.
5.      Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu melancar, bulan memancar.
6.      Anafora dan Epifora
     Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak. Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak



















            BAB III
     METODE PENELITIA
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, kualitatif. Deskriptif adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan secara obyektif sesuai data yang terdapat dalam puisi karya.
             Kualitatif di pakai untuk menganalisis atau menguraikankonsep-konsep dalam hubungannya dengan yang lain dan tanpa menggunakan prinsip-prinsip statistik tetapi berpedoman pada teori-teori sastra yang ada kaitannya dengan kritik sastra feminis.
















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepi
 (Sajak buat Nelson Mandela
   di penjara Afrika Selatan)
Dari mana kau datang
Dari tepi kau bilang
Di mana kau berdiri
           Di tepi
Di mana kau berpihak
            Di tepi
Di mana kau terlibat
            Di tepi
Di mana kau mulai
           Di tepi
Di mana kau bergerak
           Di tepi
Di mana kau berbaring
           Di tepi
Di mana kau bermimpi
           Di tepi
Di mana kau kini
            Di tepi
Tepi apa itu tepi
Tepi afrika tepi selatan
Tepi itu tepi kau
Tepi pekerja tambang
Yang tak punya selembar saham
Tepi petani
    Yang dilarang berladang di benua sendiri
Tepi nelayan
    Yang tak boleh menyentuh lautan
Tepi penjaga malam
    Yang tak sempat menikmati matahari
Tepi pemegang karcis kereta api
    Yang harus puas dengan gerbong tersendiri
Tepi orang-orang berkulit hitam
    Yang tidak diperkenankan
    Satu gereja dengan sesame Nasrani
        Berkulit putih
Tepi itu tepi kau, Mandela
Tepi manusia
    Yang berhak merdeka
Tepi penghabisan
Sejarah penindasan
Afrika Selatan
                             ( 1989 )
* Secara keseluruhan rangkaian bunyi dalam sajak yang dimanfaatkan oleh puisi    diatas di sebut kakafoni.
    Sajak di atas menggambarkan suatau keadaan dimana begitu banyak orang-orang yang tersisihkan serta orang-orang yang di tindas. Mulai dari para pekerja tambang yang tidak memilimki saham, para petani yang dilarang berladang di benua sendiri, para nelayan yang tak boleh menyentuh lautan, hingga orang-orang yang berkulithitam yang tidak diperkenankan satu gereja dengan sesama nasrani yang berkulit putih walupun orang-orang yang tertindas itu juga berhak untuk merdeka sehingga dalam sajak di atas menggambarkan suasana yang mengharukan
*Sajak di atas menunjukkan penggunaan aliterasi yang dimanfaatkan sedemikian mungkin , sehingga muncul unsur irama dan musikalitas yang tinggi. Aliterasi pada sajak di atas berupa persamaan serta pengulangan bunyi / D / T / pada awal kata setiap baris.
    Selain cara pemanfaatan bunyi asonansi sajak di atas juga menggunakan unsur bunyi yang sama pada awal larik atau yang biasa disebut anafora. Dikatakan seperti itu karena puisi yang berjudul “ Tepi ”  tersebut pada setiap barisnya menggunakan kata yang sama seperti dari, dimana, di tepi, tepi, dan yang.
Namaku Toraja
Di uratku deras mengalir sungai Sa’dang
Tulang igaku tanduk-tanduk kerbau belang
Nafasku angin pegunungan angin lembut di rumput ilalang
Langit bapaku bumi ibuku
Toraja namaku
Benihku tumbuh di batu tumbuh di tanah
Benihku padi di ladang padi di sawah
Benihku julang di gunung tabah di lembah
Benihku pohon-pohon kopi belukar damar hutan-hutan cemara
Namaku toraja
Benihku tak hangus di api tak benam di air
Benihku tak luka dibadik tak koyak ditombak
Benihku tak tebas dipedang tak tembus dipanah
Benihku langit kakeknya bumi neneknya
Namaku toraja
    Sajak di atas menggambarkan ketabahan dan ketegaran seseorang. Dimana pun dia berada dan dalam keadaan apapun, dia tetap tegar dan kuat, sehingga dapat disimpulkan bahwa, rangkaian bunyi yang dimanfaatkan pengarang (Husni Djamaluddin) dengan judul puisi “ Namaku Toraja “  adalah efoni
    Sajak diatas juga memanfaatkan penggunaan aliterasi karena terdapat pengulangan bunyi / b / pada awal kata pada hampir keseluruhan barisnya.
    Selain itu, puisi di atas juga menggunakan teknik anafora, karena terdapat unsur bunyi yang berulang-ulang pada awal larik sajak puisi tersebut yaitu “benihku”
Hikayat Bulan dan Khairan
Di langit malam: Bulan
Memancarkan cintanya kepada Khairan
Khairan tidak perduli
Di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi
Lewat celah jendela
Bulan mengintip Khairan
Khairan tidak perduli
Di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi

Di langit bulan gelisah
Khairan tidak perduli
Di langit bulan sepi
Khairan tidak perduli
Di langit bulan rindu
Khairan tidak perduli

Maka bulan turun ke bumi
Khairan tidak perduli
Bulan melangkah mendekat
Kahairan tidak perduli
Bulan memanjat dinding
Khairan tidak perduli
Bulan mengetuk jendela
Khairan tetap saja
Menulis puisi
Pelan-pelan bulan menguak jendela
Khairan tidak perduli
Bulan nekad memasuki kamarnya
Khairan tidak perduli
Bulan menggamit bahunya
Khairan tidak perduli
Bulan mengelus lehernya
Khairan tidak perduli
Bulan membelai pipinya
Khairan tidak perduli
Bulan mencium dahinya
Khairan tidak perduli
Bulan mengecup bibirnya
Khairan tidak bisa lagi tidak perduli
Bulan rebah di pangkuannya
Khairan tidak lagi menulis puisi
Bulan memegang tangannya
Khairan membiarkan
Bulan menuntunnya ke ranjang
Khairan tidak keberatan
Bulan buka kutang
Khairan mulai gemetaran
Bulan buka paha
Khairan segera jadi singa
Syahdan
Ketika bulan dan Khairan
Tuntas di puncak malam
Sebuah puisi tiba
Di ujung baitnya
Bulan pun kembali ke langit malam
Memancarkan cintanya
Ke mana-mana
                                     ( 1976 )
Rangkaian  bunyi yang dimanfaatkan oleh Husni Djamaluddin dalam puisinya yang berjudul “ Bulan dan Khairan “ di atas adalah efoni karena sajak diatas menggambarkan perasaan mesra antara Bulan dan Khairan. Walaupun  pada awalnya Khairan tidak memperdulikan Bulan yang senantiasa memperhatikannya, karena Khairan hanya fokus pada aktivitasnya. Tetapai, karena Bulan tidak menyerah dan tetap mendekatinya, akhirnya dia dapat diluluhkan.
Sajak diatas juga memperlihatkan rangkaian bunyi yang diolah dengan mempermainkan bunyi vokal sebagai bunyi akhir, sehingga bunyi-bunyi di rangkai dari bunyi vokal tersebut menimbulkan kesan suasana cerah
Puisi diatas juga memanfaatkan bunyi dengan cara pengulangan pemakaian bunyi beruppa pengulangan bunyi yang sama baik pengulangan bunyi konsonan yang disebut aliterasi, serta pengulangan bunyi yang sama berupa bunyi vokal atau asonansi. Yang  merupakan bunyi aliterasi pada puisi diatas yaitu / d / b / k /. Sedangkan penggunaan bunyi vokal yang sama yaitu / a / i /.
Selain itu, puisi “ Bulan dan Khairan “ juga memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa anafora dan epifora. Dikatakan menggunakan anafora karena dalam puisi diatas terdapat unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata pada awal di langit, Bulan, dan Khairan. Serta dikatakan memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa epifora karena terdapat bunyi berulang-ulang dalam bentuk kata pada larik sajak yaitu perduli, dan puisi.
Topejawa
Ombak yang menghempas
Di pantai Topejawa

Ombak yang datang
Dari lautku
Yang paling dalam

Angin sepoi yang membelai
Ikal rambutmu

Angin purba yang bertiup
Dari benua rinduku

Di Topejawa
Kaulah yang pantai itu
Akulah yang ombak itu
Yang tak pernah berhenti
Membisikkan
Kedalaman lautku
                                               ( 1994 )

Dalam puisi karya husni djamaluddin yang berjudul “TopeJawa” di atas memanfaatkan bunyi dalam sajak berupa efoni karewna bunyi-bunyi yang dirangkai berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara.
Sajak tersebut menggambarkan seseorang yang sabar dan pantang menyerah walau diterpa masalah apapun yang diumpamakan sebagai pantai dan masalah yang dihadapinya itu sebagai ombak.
Puisi diatas juga memanfaatkan asonansi karena terdapat pengulangan bunyi vokal pada awal kata dan akhir kata pada hampir semua baris puisi yaitu pengulangan bunyi vokal / o / a /u/.
Selain pemanfaatan unsur bunyi dalam sajak berupa asonansi, sajak tersebut juga memanfaatkan anafora dan epifora. Yang termasuk anafora dalam puisi diatas yaitu ombak dan angin. Sedangkan yang merupakan epifora yaitu lautku, rambutmu, rinduku, dan itu. Semua ini dikatakan epifora karena menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk linguistik pada akhir setiap sajak.




BAB V
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Berdasarkan materi yang sudah di uraikan di atas dapat kami simpulkan bahwa bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
 Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi.Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman.Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak
            Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
5.2  Saran
Berdasarkan pada kesimpuan dan uraian-uraian di atas maka ada beberapa hal yang menjadi saran dalam penelitian ini yakni:
1.    Diharapkan agar kita dapat menganalisis bunyi dalam sajak dalas suatu sajak dengan baik dengan memperhatikan unsur-unsur dalam bunyi dalam sajak tersebut.
2.    Diharapkan agar kita dapat memahami pengertian dari masing-masing unsur bunyi dalam sajak yang meliputi irama, kakafoni dan efoni, anomatope aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
3.    Dapat menentukan unsur-unsur bunyi dalam sajak apa saja yang terdapat dalas suatu puisi.                                                                        
















DAFTAR PUSTAKA
Yuwana, Setya. 2000. Pendekatan Statistik dalam Puisi Jawa Modern .Jakarta: Departemen Pebdidikan Nasional.
Junus, Umar. 1981. Dasar-Dasar Intepretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.
Esten, Mursal. 1987. Sepuluh Petunjuk Dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang: Angkasa Raya.